Sepotong Perjalanan Seorang Janda

>> Senin, 04 Mei 2009

“Aku ingin melamarmu!” hahahahaha serentak tawa cekikikan memenuhi warung kecilku di sebelah rumah. Kontan aku tak kalah terperangah mendengar pernyataan seorang pemuda yang masih bau kencur. Bahkan beberapa orang sampai tersedak mendengarnya. Emak malah tak kalah kaget, hingga ia menjatuhkan sepiring soto untuk pelanggan. Bagaimana tidak pernyataannya tidak membuat semua orang yang disini membuat kaget plus bahan lelucon. Ia melamar di tengah orang-orang yang sedang menyantap jualanku, pada aku Minah. Yang semua orang ketahui aku adalah janda beranak dua yang usianya kini kepala tiga, sedangkan dia seorang pemuda yang belum menyelesaikan studinya di kota. yah sekitar 22 tahun. Tak terbayang bagaimana kagetnya orang kampung. Hanya sejenak aku terpengaruh oleh kata-katanya, selanjutnya kata-katanya kucampur menjadi bumbu sotoku. “Aku serius, dan aku tak akan pergi dari sini sebelum kamu menjawab ia.” Ngotot banget sih anak ini, pikirku. Tak ayal aku juga kesal dibuatnya, tapi bukan Minah namanya jika aku menyerah pada anak kemaren sore itu. Aku merasa tak terusik dengan ancamannya. Anggap saja ia adalah laki-laki kesekian yang tak kapok-kapoknya mengejarku. Tapi heran juga, karena ini bukan pertama kalinya ia melakukan hal gila. Hingga beberapa lama ia masih berdiam di depan warungku. Emak tak tega membiarkannya lama berdiri mematung, dengan pelan emak membujukku agar menemuinya. Meski dengan berat akhirnya aku melangkah juga.

“Apapun yang kamu lakukan takkan pernah bisa mengubah keputusanku. Pergilah sebelum semua orang kampung menertawakanmu dan mengataimu gila.”
“Persetan dengan semua orang kampung. Aku tak kan beranjak sebelum kamu menjawab ia.” Benar-benar keras kepala ini anak.
“Baiklah, kalau menurutmu itu yang terbaik. Tapi yang aku tahu, orang yang mencintaiku tak akan pernah melakukan sesuatu yang akan mempermalukanku.” Ia menatapku tajam.

“Kamu pemuda berpendidikan, tak mungkin melakukan hal-hal konyol seperti ini.”
Akhirnya dia beranjak. Tapi aku yakin dia pergi bukan karena menyerah melainkan karena ia telah menemukan ide bagaimana mendekatiku dengan cara yang lebih baik. Tapi apa peduliku, yang jelas sampai kapanpun keputusanku tak akan pernah berubah.

Ah, hari ini badanku letih sekali. Seharian menjaga warung apalagi tadi pembeli banyak sekali. Dan sepulang dari warung kedua anakku minta dimandikan dan disuapin olehku. Tapi penat hati dan pikiranku lebih tersita atas kelakuan Jimmy, laki-laki kota yang sedang KKN di daerah sekitar sini. Sebenarnya Jimmy awalnya adalah penduduk desa ini tapi karena sejak 15 tahun yang lalu keluarga besarnya pindah ke kota, jadi otomatis ia telah jadi penduduk kota. Awalnya aku sangat terkesan pada pemuda yang baik dan sopan sepertinya, tapi lama kelamaan ia membuatku kesal saat sebulan yang lalu ia melamarku. Awalnya aku hanya menganggapnya lelucon. Dia pemuda berpendidikan, terhormat, jejaka tiba-tiba ingin melamar seorang janda beranak dua, tamatan SMP, dan penjual soto. Ah, sinting kali tuh anak, atau mungkin ingin mengetes bahwa orang-orang desa mudah tergiur dengan cowok perlente dari kota. Tapi kenapa harus aku? Walaupun wajahku yang tidak terlalu jelek, tapi aku kan janda? Gadis-gadis desa tak kalah cantik bahkan lebih kinclong. Dan akupun terlelap dengan sejuta tanya atas sikap Jimmy.

Kejadian kemarin ternyata tak berlalu begitu saja. Kabar telah tersebar ke seantero kampung, bahkan daerah pelosok. Tak sedikit orang yang menyindirku saat berbelanja tadi pagi ke pasar, mencibir, meludah bahkan beberapa gadis yang berpapasan denganku mengataiku main dukun. Astaghfirullah…..Tak heran karena tak sedikit anak gadis yang menyukainya, begitu pula para orang tua yang ingin mengambilnya jadi menantu tak kalah serunya berkomentar. Emak hanya mampu mengelus dada. Awalnya aku tak terusik dengan semua itu, walaupun sebenarnya panas juga telingku mendengar komentar miring. Kalau tidak Ira anak sulungku tak menangis sepulang sekolah. Saat kutanya ia hanya menjawab, “Semua teman-teman sekolah bilang kalau ibu genit, suka godain laki-laki apalagi Om Jimmy.” Ya Allah, tak sanggup lagi aku bertahan, dan semua ini gara-gara Jimmy. Andai ia tak melakukan perbuatan konyol kemarin, paling tidak anakku tak akan merasakan pedihnya. Tapi apa yang bisa kuperbuat lagi. Sejak aku bercerai dengan Handoko hidupku tak pernah lepas dari gunjingan dan cemoohan, apalagi kaum ibu yang merasa takut kehilangan suaminya.

“Ternyata kamu Doyan juga sama daun muda ya?” Hayati dan Handoko kini telah berada di dekatku. Pedih rasanya hatiku menyaksikan mantan suamiku diam ketika istri barunya mengataiku.
“Tutup mulutmu.”
“Hei, Minah berani kamu membentakku. Wanita seperti kamu memang tak seharusnya berada disini. Memalukan, cuih!”
“Aku tak butuh komentarmu, sebaiknya enyahlah kamu dari sini sebelum kamu tahu seperti apa aku yang sebenarnya.”
“Minah, kau tak berhak mengusir kami.” Ucap Handoko berang
“Berani benar kamu mengusirku? Dasar Wanita miskin.” Orang-orang yang tak sengaja lewat, bahkan yang sedang di rumah kontan kaget menyaksikan Suara Hayati yang lantang. Tak kupedulikan ocehannya karena tak asing lagi kalau Hayati menemuiku hanya untuk membuat onar. Dan jika aku meladeninya akan membuat Iblis yang bersarang di tubuhnya bersorak. Aku membawa Ira, Emak yang sedang menggendong Yanti masuk rumah.

“Hai, dengarkan orang-orang yang ada disini, lihatlah si Minah yang miskin akhirnya beraksi juga. Wanita seperti dia tak akan cukup menghidupi kedua anak dan Ibunya hanya dengan berjualan soto, yah kecuali dengan sedikit bumbu dan lenggokan sedikit. Harusnya pelacur tak berada di desa tenang seperti ini, agar kita tak perlu takut kehilangan suami………” Plak, plak, plak. Semua orang membisu. Handoko menatapku garang.
“Aku memang perempuan miskin tapi tak ada niat sedikitpun untuk menafkahi keluargaku dengan uang kotor. Dan yang pasti aku tak pernah terbukti merampas suami orang lain, dan pelacur hanya pantas dikatakan pada perempuan yang telah merampas suamiku.” Sampai disini kata-kataku tercekat, seumur hidup tak pernah aku mengatai orang sebegitu pedihnya, tapi apa yang kukatakan memang harus terucap karena pada kenyataannya memang dialah yang telah mengambil suamiku. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi karena semua itu memang benar. Handoko memang pengecut, walau amarah telah menguasai ubun-ubunnya tapi ia tak berkutik karena apa yang aku katakan benar. “Semua orang kukira tidaklah buta untuk melihat, sebenarnya aku yang merampas suamimu atau kamu yang telah membutakan Handoko dengan Uangmu!” Sebuah tamparan hendak mendarat, dan tanpa kusadari seseorang telah berhasil menangkisnya. Jimmy.
“Oh, ternyata benar apa kata Hayati si Daun Muda ini memang pantas untuk membuatmu rapuh.”
“Apa sudah hilang akal sehatmu untuk tidak berlaku kasar dan sedikit berpikir bahwa, memang andalah yang telah dibutakan oleh harta? Dan hanya karena wanita yang hanya pandai mencemooh ini anda meninggalkan tanggung jawab sebagai seorang suami dan ayah? Dan saya kira jika anda berdua tak berhak menginjakkan kaki di atas tanah orang-orang yang kalian aniaya. Jika saraf malu kalian masih normal saya yakin saat ini juga anda tak berada disini, tapi itupun kalau sarafnya masih nyambung.” Sampai disitu Handoko dan Hayati melangkah dengan menyisakan amarah yang dalam.
“Semua ini karena kamu, jika kamu sendiri merasa sebagai laki-laki normal, menjauhlah dariku, dan sampai kapanpun kita tak akan pernah bersatu.” Tak mampu kupendam perih ini. Tuhan, sampai kapan aku harus bertahan? Sayup aku dengar teriakan Jimmy di luar sana.

“Sampai kapanpun aku akan berjuang untuk mendapatkanmu. Dan dengarkanlah sumpahku warga desa. Aku tak akan pernah meninggalkan kota ini sebelum memperistri Minah.”
Beberapa hari ini aku tidak keluar rumah. Aku hanya mengerjakan sesuatu apa yang bisa aku lakukan di rumah. Karena aku masih segan untuk kembali mendengar komentar para tetangga setelah peristiwa kemarin. Apalagi aku tak ingin melihat Jimmy. Kesadaranku teruji, benarkah Jimmy menyukaiku sebagamana layaknya laki-laki dan perempuan? Apa dia tak melihat perbedaan usia diantara kami dan penampilanku yang tak layak disebut gadis lagi? Apakah benar cinta itu memang gila? Seperti diriku yang dulu harus menentang Emak saat menolak Handoko menikahiku! Atau juga seperti Handoko yang telah bosan hidup susah dan terlalu cinta pada harta sehingga ia meninggalkanku? Aku memang perempuan desa. Miskin, dan tak berpendidikan tinggi sehingga aku tak mengetahui apa yang sebenarnya jadi tujuan kenekatan Jimmy mengejarku. Sejak cintaku di hianati, hatiku masih terlampau jenuh untuk menerima kehadiran laki-laki lain. Aku sanggup memberikan kasih sayang, perhatian, dan cintaku untuk kedua anakku meski dalam hidup serba pas-pasan. Dan aku yakin mereka masih trauma kehilangan orang yang di sayangi.
Jimmy tak surut langkah untuk tetap nekat mengejarku dengan berbagai cara, meski seringkali itu hanya membuahkan kemarahan dariku. Bahkan hingga masanya ia harus kembali ke kota, tugasnya disini telah selesai. Akhirnya aku bisa bernafas, karena selain gangguan dari Jimmy tak ada lagi, Hayati dan Handoko tak berani mengusikku. Akupun menjalani kehidupanku seperti dulu, meski tetap saja masih ada yang suka mengusik kesendirianku, tapi toh itu tak terlalu mengusikku. Justru yang terusik malah Emak.
“ Nduk, kami ndak merasa kesepian to ngurus anak-anakmu sendiri?” Ucap Emak saat aku sedang memberesi dagangan di warung yang kebetulan pembeli telah sepi.
“Kan ada Emak yang akan selalu membantuku merawat cucu-cucu Emak.”
“ Tapi kan Emak tak bisa menemanimu selamanya, nduk. Suatu saat Emak juga akan pergi.” Aku menghentikan aktivitasku sejenak. Tumben Emak bicara serius tentang masa depanku.
“Semua orang tak akan abadi. Dan kita tak pernah tahu kapan tiba saatnya, dan tak ada yang mengetahui secara pasti siapa yang akan dipanggil terlebih dahulu. Dan insya Allah, aku masih sanggup merawat anak-anakku sendiri, apalagi anak-anak tak pernah mengingat ayahnya. Jika aku sanggup melakukannya sendiri kenapa aku harus minta bantuan orang lain?”
“Tapi, anak-anakmu tetaplah butuh kasih sayang dari seorang ayah!”
“Dulu Emak merawatku sendiri tanpa ayah, tapi aku tak merasakan kekurangan kasih sayang.”
“Dulu, ayahmu pergi memang karena dipanggil, dan karena kamu memang sangat menyayangi ayahmu sehingga kamu merasa ayahmu selalu berada didekatmu.”
“Emak kan tahu sendiri, Handoko sekarang sudah punya keluarga?”
“Tapi kamu kan bisa mencari pengggantinya?”
“Maksud Emak?”
“Emak pikir nak Jimmy cukup baik untukmu, dia juga sayang pada anak-anakmu. Dan…”
“Mak, Jimmy masih terlalu muda untuk mengarungi hidup bersamaku.”
“Apa karena usianya saja dia tak berhak mendampingimu?”
“Mak, sudahlah tak perlu membahas tentang sesuatu yang tidak ada. Aku masih sanggup mengurus anakku sendiri.”
“ Tapi Nduk…!”
“Cukup Mak, kita tak perlu membahas tentang ini lagi.” Dengan sedikit emosi aku mengakhiri perbincangan di warung. Orangnya sudah pergi kenapa harus diharapkan lagi. Ops, apa seandainya dia ada disini aku mengharapkannya? Ah, tidak mungkin. Walaupun sebenarnya aku menyukainya, tapi terlalu banyak perbedaan diantara kami. Apalagi kini orangnya sudah tak ada. Jadi untuk apa aku memikirkannya lagi. Tapi apa maksud dari rentetan pertanyaan Emak yang ngotot.

Sore itu saat aku baru pulang dari warung kulihat seseorang di beranda rumah. Handoko? Ada kepentingan apa lagi dia datang ke rumahku? apa dia belum puas dengan semua yang telah dia lakukan padaku.

“Minah, maafkan aku! Aku salah, telah menyia-nyiakanmu dan kedua anak kita, maafkan atas segala kekhilafanku Min?”
“Aku sudah lama memaafkanmu, percuma menyimpan dendam karena tak akan pernah mengembalikan semuanya. Sekarang pulanglah! Aku tak mau terjadi kesalah pahaman lagi diantara kita.”
“Aku sudah meninggalkan Hayati, dan aku ingin kita merajut kembali masa depan kita berdua…”
“Kamu pikir aku wanita apa? Setelah kamu tinggalkan masa paling buruk dalam kehidupanku kamu ingin kembali? Lalu bagaimana dengan Hayati dan anakmu? Ternyata kamu memang laki-laki pengecut yang hanya ingin meraih keuntungan di atas penderitaan orang lain. Aku memaafkanmu bukan berarti aku menerimamu kembali. Sekarang juga aku ingin kamu pergi dari rumahku.”
“Tapi, Min……..”
“Aku mau kamu pergi………”
Tak ada alasan bagiku menerima kehadirannya kembali, aku tak ingin kejadian seperti dulu terulang kembali baik itu padaku ataupun orang lain. Cukuplah aku yang merasakan betapa sakitnya hati ditinggalkan oleh orang yang kita cintai.
“Apa karena pemuda ini kamu menolakku?” Aku terkejut saat menyadari bahwa saat ini Handoko telah bersama Jimmy. Sejak kapan dia disini?
“Tidak hanya karena nak Jimmy, tapi juga Emak yang tak pernah ikhlas anaknya dipermainkan, juga kedua anakmu yang merasa telah damai tanpa kehadiran ayahnya”. Tiba-tiba Emak telah juga hadir bersama kedua anakku.

Beberapa bulan sejak kemudian.

Aku sedang menemui tamuku, tamu spesial. Aku tahu kedatangannya akan membuat kehebohan tersendiri di kampungku. Aku tak peduli karena saat ini dia datang bukan sebagai orang yang mengejarku lagi. Dia datang dengan menyelipkan undangan untukku. Awalnya aku melihat kekecewaan terpancar di wajah Emak. Yah, karena dia memang sangat mengharapkan Jimmy menjadi menantunya. Tapi, aku terlampau bahagia, karena tak akan ada orang yang akan mengganggu hari-hariku dengan berbagai aksinya. Akhirnya aku bisa kembali tenang, walaupun tetap aja masih ada orang yang menggangguku. Dan aku yakin bisa menghadapinya.

Tapi aku masih penasaran. Besok kabar apalagi yang akan tersebar terkait dengan kedatangannya …..Dan aku cukup menunjukkan sebuah undangan pernikahan, Jimmy.

Surabaya, 12/10/2008

(*Noviana Herliyanti, lahir di Batang-batang Sumenep Madura. Alumnus PP. Annuqayah Guluk-guluk Sumenep, saat ini aktif sebagai Anggota Forum Komunikasi Penulis & Penerbit Pesantren (FKP3) Jawa Timur. Beberapa tulisan cerpen dan puisinya telah dimuat di harian Duta Masyarakat, Radar Surabaya, dan Radar Madura.
read more “Sepotong Perjalanan Seorang Janda”

Read more...

Ketika Kiai Berpolitik

>> Kamis, 30 April 2009


Judul : Kiai Politik Politik Kiai
Penulis : Dr. H. Abd. Latif Bustami, M.Si
Editor : Ahmad Haidar
Sambutan : Drs. Choirul Anam
Penerbit : Pustaka Bayan & Khalista Surabaya
Cetakan : I, Maret 2009
Tebal : xv+278 hlm.
Peresensi : Noviana Herliyanti*

Ketika Kiai Berpolitik

Kiai adalah seorang figur yang selalu dihormati kapan dan dimanapun keberadaannya. Tak bisa dipungkiri jika kehadirannya di anggap berkah tersendiri bagi masyarakat sekitar. Kiai merupakan pewaris para Nabi sebagai penuntun jalan bagi kehidupan pada masa sekarang ini, di mana kebaikan merupakan hal asing atas menjamurnya nilai-nilai kejelekan. Sehingga peran dan gerakan politik kiai, sampai saat ini mampu mewarnai perjalanan demokrasi di Indonesia. Bahkan yang ikut memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia ini, tidak terlepas dari peranan para kiai.

Entah karena memang sudah demokrasi yang telah ternodai atau status kiai terkotori oleh segelintir yang disebut kiai palsu yaitu ketidaksesuaian antara perkataan, perbuatan dan ketetapan dalam melaksanakannya, menjadikan yang disebut politik kiai merupakan hal yang kotor. Padahal manusia dan kiai merupakan bagian dari masyarakat, tidak akan pernah terlepas dari yang namanya politik. Dan sejak lahirpun kita telah diperkenalkan oleh politik, entah kita sadari atau tidak.

Pesantren dan masyarakat, adalah lingkungan di mana seorang kiai merupakan pegangan sebagaimana rakyat jelata menyerahkan segala keputusan hidupnya pada sang raja. Tapi kiai, ia orang yang berilmu dan beribadah di mana setiap perilakunya menyatu antara perkataan, perbuatan dan peraturan yang tertulis atau tidak.

Seorang peneliti Clifford Geertz, mengatakan bahwa peran kiai hanyalah sebagai “makelar budaya”. Benarkah demikian? Lalu bagaiamana tugas utamanya sebagai pewaris para Nabi? Bukankah masih banyak hal yang tak hanya dilestarikan tapi juga mempertanyakan tentang berbagai konflik baru termasuk politik?
Kiai merupakan sentral pengetahuan, dan keagamaan. Masyarakat lebih mempercayakan setiap permasalahannya pada kiai dari pada tokoh masyarakat yang lain. Karena predikat kiai tak hanya sebatas opini publik, melainkan tugasnya adalah orang yang mengajar dan mendidik manusia.

Berangkat dari predikat kiai yang diuraikan di atas, penulis buku ini lebih menonjolkan istilah politik kiai – kiai politik. Bahwa pada dasarnya kiai merupakan penunjuk jalan politik benar-salah dan hitam putih bukan politik menang – kalah atau abu-abu. Yaitu tugas kiai adalah penerang antara yang salah dan yang benar, bukan yang menang diperjuangkan walau harus hitam yang dilewati. Peran kiai bagaimana ia mampu merekonstruksi bahwa dunia politik itu putih dan yang hitam harus dienyahkan dari dunia politik.

Masyarakat mempunyai penilaian tersendiri atas status rangkap yang dimiliki kiai. Kiai independen lebih mereka hormati dari pada kiai yang berafiliasi pada kekuasaan Negara. Realitasnya, rakyat mulai kehilangan kepercayaan yang telah mendarah daging pada sosok yang dikenal kiai. Di mana pada saat sekarang ini, kiai mulai berlomba-lomba meraih kursi kekuasaan. Parahnya ada yang telah merabunkan jalan politik itu sendiri.

Kiai seharusnyalah menempatkan posisinya sebagaimana status ulama, ngopene, mengayomi yang kata orang madura “manjeki” pesantren dan masyarakat. Ranah politiknya hanya di pesantren dan masyarakat bukan merangkap sebagai negarawan. Karena realitasnya ketika kiai mulai terjun ke dunia kekuasaan, tak lagi nilai-nilai keagamaan yang menjadi prioritas utamanya.

Seperti halnya Jawa Timur saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagian besar kiai tapi tak justru mengurangi hitam kelamnya para pengeruk darah rakyat, kelaparan tak jua musnah, kemiskinan ternyata malah meningkat. Walau tak sedikit yang benar-benar memperjuangkan tapi lihatlah bahwa, penyebab kondisi di atas terjadi atas keringnya rohani dan minimnya pengetahuan keagamaan masyarakat pada saat ini.

“Jikalau tidak ada ulama / kiai, niscaya keadaan kehidupan manusia seperti binatang”. Perkataan Imam Hasan tersebut, semakin mempertegas bahwa peran dan fungsi kiai adalah sebagai pendidik dan bertugas menyiapkan generasi masa depan yang mampu menyeimbangkan kehidupan duniawi dan ukhrawi. Ketika kiai mampu melahirkan generasi-generasi yang tak hanya mengkotori nilai-nilai politik, tapi juga membersihkan noda yang melekat padanya serta mampu melestarikan kehidupan politik yang sehat. Maka predikat kiai sebagai ahli ibadah yang berilmu akan tetap sejajar dengan status Nabi, sebagai penyelamat manusia dari nilai-nilai kebobrokan manusia.

Buku ini menguraikan secara gamblang tentang peran kiai yang telah mewarnai perpolitikan di Indonesia. Namun sayang penulis tak menyertakan tentang peran kiai yang seharusnya dan selayaknya seperti apa. Kehadiran buku ini sangatlah dibutuhkan dan bermanfaat bagi para politisi khususnya bagi kalangan santri. Juga penulis buku ini patutlah diapresiasi, karena ia membantu memberikan pelajaran politik demi tegaknya demokrasi bangsa ini. Semoga bermanfaat amin.

*)Peresensi adalah penikmat buku-buku sastra, Mahasiswi Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan saat ini aktif di Pondok Budaya Ikon Surabaya.
read more “Ketika Kiai Berpolitik”

Read more...

MENULIS ITU TERAPI PEMBEBASAN

(Oleh. Noviana Herliyanti)

Sejak di Madrasah Tsanawiwah (MTs), Saya selalu berharap untuk bisa melanjutkan ke kota Yogyakarta. Kota yang dikenal rahim bagi penulis. Walau tak hanya Yogyakarta yang mampu melahirkannya tapi setidaknya seringkali seringkali Saya membaca penulis-pnulis yang berasal dari daerah itu. Dan jika Tuhan bisa memberi kesempatan untuk itu tentu Saya tidak akan pernah menolaknya.

Harapan hanya sebatas mimpi. Begitulah kenyataan harus Saya terima. Mengingat Saya adalah anak yang terlahir dikeluarga bukan orang berpendidikan dan orang tua Saya selalu mengingatkan akan status keperempuanan yang masih melekat dikalangan orang-orang awam, maka akhirnya musnahlah segala mimpi Sya. Perempuan tidak boleh kemana-mana apalagi keluar dari pesantren. Begitulah kata mereka. Tapi keinginan untuk menjadi penulis tak boleh hengkan dari diri Saya. Di mana dan kapanpun Saya yakin suatu saat bisa mewujudkannya.

Menulis sesuatu yang utuh bisa dimengerti, dihargai bukanlah sesuatu yang mudah tapi tak mustahil terjadi pada diriku. Menulis butuh banyak membaca, mengamati, tekun dan kesabaran penuh untuk berproses. Hal itu tak akan dipisahkan dari usaha untuk menjadi seorang penulis.

Kegemaran Saya menyantap buku cerita sejak di Madrasah Ibtidaiyah (MI), memutivasi Saya untuk bisa menulis meski pada awalnya di diari, maupun surat cinta yang sering Saya buat baik untuk pribadi maupun teman-teman.

Menurut Saya, menulis tanpa membaca sama seperti orang buta tanpa tongkat. Kita tak bisa berjalan senantiasa dilanda ketakutan untuk melangkah. Karena jalan yang akan kita tempuh tak bisa hanya ekedar diraba. Karena kegemaran Saya pada buku cerita maka sejak Madrasah Tsanawiyah (MTs), Saya menjadi pelanggan tetap Majalah Annida selama tiga tahun. Sebuah Majalah religius yang selalu membuat Saya merasa menikmati karya-karya khususnya cerpen didalamnya. Ada perasaan tertantang setiap kali membaca cerpen, cerbung, puisi, serial didalamnya. Saya selalu bermimpi suatu saat didalamnya adalah karya Saya. Apalagi kakak Saya sering mengirimiu buku-buku kumpulan cerpen. Asma Nadia, Yus K. Ismail dan lain-lainnya. Dan Sayapun melalap buku-buku bacaan, sebagai usaha untuk memperkaya wawasan. Bagi Saya membaca kumpulan-kumpulan cerpen, novel lebih menarik dari pada selembar buku pelajaran. Jadi pantas saja sejak kecil Saya termasuk siswa yang lumayan dibawah standar orang-orang berprestasi.

Umumnya seorang penyair, sastrawan, budayawan, maupun penulis lain bermula tak jauh dari tetek bengek yang namnya cinta. Dan seringkali termutivasi menulis ketika saat putus cinta atau patah hati. Karena saat jatuh cinta semuanya serba indah, waktu dihabiskan untuk mendengarkan lagu-lagu romantis maupun melapun. Sedangkan pada saat patah hati waktu lebih banyak dipergunakan mengutuk diri, menagis, bahkan depresi. Yang terakhir alhadulillah tidak pernah Saya alami. Dan hal ini Saya lakukan tidak hanya saat Saya lagi bermasalah tentang hati, tentang bentrok dengan orang tua hanya dia yang Saya jadikan tempat berkeluh kesa.

Menulis didiari, baik dal bentuk puisi maupun cerita memang sering Saya lakukan. Apalgi sejak kelas I MTs, Saya selalu menyukai kakak kelas. Namun ternyata cinta Saya bertepuk sebelah tangan.

Maka benarlah saat orang-orang mengatakan bahwa tulisan seringkali terlatih dari orang-orang yang lagi berduka. Segala duka lara, sakit hati, keluh kesah dan air mata, benci, terlampiaskan pada buku diari.

Dari seringnya Saya mengkomsumsi buku ternyata lumayan mengasah kemampuan Saya menuliskannya didiari dengan bahasa yang lebih bagusdari sebelumnya. Dan Sayapun belajar menulis puisi dan humor maupun surat pembaca dan mengirimkannya kesebuah majalah sekolah yang kebetulan pimpinan redaksinya adalah guru bahasa Indonesia Saya, “Ukhuwah” nama majalah itu.

Bisa menulis cerpen adalah keinginan Saya yang selanjutnya saat menginjak jatuh cinta pada akhir kelas dua. Tapi sangat sulit mengutarakan bahasa dan keinginan yang Saya tuliskan dalam bentuk kata-kata yang kemudian dirangkai menjadi tulisan sambung-menyambung menjadi karya utuh. Ternyata menulis cerpen sulit dari pada menulis surat cinta.

Kalaupun bisa menulis cerpen apalagi novel hanya sebatas keinginan tapi akhirnya Saya melibatkan diri pada kegiatan tulis menulis disekolah yang diselenggarakan tiap hari minggu. Sanggar “Manunggal” namanya. Dan semakin bertambah semangat saat dia juga jadi anggota didalamnya. Antara serius dan main-main Sayapun mulai belajar menulis dengan menggunakan kata bahasa yang baik bagaimana cara mengungkapkan yang sederhana tapi menarik. Walaupun tulisan itu sangatlah jelek akhirnya bisa juga Saya menulis cerpen yang dimuat dimajalah “Ukhuwah”.

Menulis cerpen itu sangat sulit dibutuhkan tak hanya konsentrasi tapi kesabaran pantang menyerah. Permasalahan itu seringkali berawal dari memulai, ataupun karangan tiba-tiba terpotong ditengah. Masalah itu merupakan hantu tak hanya bagi para penulisseperti saya tapi penulis hebatpun tak jarang juga mengalaminya. Dan permasalahan itu tak akan terpecahkan dengan sekedar hanya memahami teori. Jawaban dari guru bahasa Indonesia kupun tak bisa membantuku menyelesaikan permasalahanku dalam menulis. Sayapun berusaha untuk melepaskan diri dari belenggu teori yang hanya memperumit bahkan hingga kinipun Saya telah lupa pada susunan teori yang diajarkan pada puluhan diklat kepenulisan yang Saya ikuti. Apalgi diklat yang Saya ikuti seringkali lebih pada pemahaman teori, bersifat menoton, tak menarik dan jarang yang berpraktek langsung. Maka maklum jika puluhan sertifikat diklat kepenulisan yang Saya ikuti tak akan pernah bisa melahirkan Saya jadi penulis, tanpa ada usaha untuk belajar berlatih dan memperaktekkan langsung apa yang Saya dapatkan.

Karena Saya bukanlah tipe penulis yang sabar dalam berproses, maka menginjak akhir kelas tiga MTs, Saya hanya jadi konsumen cerpen, puisi, dan lain sebagainya. Berbenturan pula dengan kegiatan persiapan Ujian Nasional (UAN), dan juga dikarenakan Saya lebih suka berkumpul bersama teman-teman dari pada menulis yang justru sering kadang kala membuat Saya tambah kesal, dongkol, marah, dan ngambek. Maka Saya pun harus ikhlas menerima julukan salah satu siswi paling nakal yaitu sola on seven (tujuh anak yang banyak tingkah).

Kegemaran saya menyantap buku sastra berlanjut hingga saya mondok di salah satu pondok pesantren daerah ujung timur pulau Madura, pondok pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep. Dimana pondok pesantren tersebut juga mampu melahirkan penulis-penulis berbakat. Sebut saja misalnya Faizi el-Kaelan, Maftuhah Ja’far, Sofyan RH. Zaid, Anik Evawati dan masih banyak lagi yang tak perlu saya sebut secara keseluruhan. Kesemuanya bergulat dengan sastra.

Saya masih sering membaca buku, majalah, baik itu pinjam punya teman atau perpustakaan. Karena untuk membeli saya kewalahan. Uang kiriman orang tua melayang pada perut dan tuntutan lahiriah sebagai perempuan. Dan sialnya, hasil bacaan itu belum bisa lagi didaur ulang menjadi sebuah tulisan utuh.

Menulis dan merangkai sesuatu yang bisa dinikmati memang tak mudah dan saya pesimis. Walau saya pernah belajar menulis tapi saya tak pede jika harus memposisikan karya saya dengan karya orang lain. Andai ada alternatif lain yang bisa membuat saya mahir menulis tanpa belajar, pasti saya lakukan. Tapi jalan satsu-satunya memang tetap haruslah belajar, belajar dan belajar.

Menulis memang tak mudah tapi bukan berarti kita tidak bisa, meski aku jatuh bangun, saya tetap belajar untuk menulis. Dan aku berusaha karena sebuah kesuksesan tak bisa diraih tanpa sebuah proses. Seperti kata mbak Helvi Tiana Rosa mengatakan bahwa, sebuah proses adalah awal kesuksesan.

Menulis memang tak mudah butuh usaha, keuletan, kesabaran dan konsentrasi penuh. Apalagi ide datang tak mengenal waktu, tempat dan situasi seperti layaknya jailangkung datang tidak diundang pulang tak diantar. Ide bisa didapatkan disetiap waktu tergantung bagaimana kita bisa menangkapnya. Bahkan disaat kita kebingungan menulis disitulah ide bersemayam. Tergantung bagaimana kita merangkainya. Seperti yang Saya katakana di awal bahwa menulis itu sulit, apalagi penulis pemula yang sering mengalami kesulitan untuk memulai atau tulisan terputus ditengah.

Saya mempunyai beberapa alternatif yang saya praktekkan ketika saya menghadapi tulisan yang putus di tengah jalan. Yaitu: Pertama, paksa untuk dilanjutkan. Kedua, hentikan. Ketiga lupakan. Artinya pertama, kita harus berkonsentrasi dan terus memaksa otak untuk berfikir mencari jalan keluar tapi biasanya tulisan ini malah terasa hambar. Kedua hentikan, yaitu berhentilah menulis dan carilah suasana yang sekiranya tidak membosankan yaitu dengan cara mengubah posisi duduk menjadi tiduran atau sebaliknya, menyediakan makanan ringan dan minuman atau jika lapar makan saja. Bisa juga dengan menyalakan televisi, mendengarkan musik atau membaca buku hingga kita bisa temukan kembali ide selanjutnya. Yang ketiga lupakan, Biarkan tulisan itu mengambang dan simpanlah. Dan jika disuatu saat anda berkeinginan menulis bisa dilanjutkan kembali atau jika malah terlupakan, sudahlah.

Membahasakan sesuatu yang terlintas dalam benak dan merangkainya menjadi sebuah kalimat yang indah memukau apalagi dalam bentuk semisal cerpen. Dimana di dalamnya terdapat alur, setting, penokohan, yang tak hanya membutuhkan kesabaran untuk merangkainya tapi juga kelihaian dalam memilih kata-kata yang sederhana dan sesuai sehingga menjadikan tulisan itu bisa dinikmati. Sangatlah sulit. Terutama bagi penulis pemula seperti Saya. Tapi setidaknya saya selalu punya keinginan menulis, menulis dan menulis. Saya ingin separuh usia saya bisa dimamfaatkan untuk sesuatu yang tidak sia-sia. Seperti Pipit Senja yang tak pernah berhenti untuk berjuang selama lebih seperempat abad, Fahri Aziza yang mampu menulis sebuah novel hanya dalam jangka waktu tiga hari. Sangat mengagumkan. Betapa tidak, kita belum tentu menyalin sebuah buku apalagi mengarang, mengedit, dan berfikir, tak lebih dari 72 jam.

Berbicara mengenai tulis menulis, kita tidak harus mempunyai bakat dan pendidikan tinggi. Atau kita tak perlu menghubung-hubungkan darah kita dengan keturunan penulis. Cukuplah kita membaca, semangat, pantang menyerah, setelah itu biarkan orang yang menilai. Saya yakin setiap orang bisa jadi penulis, kita tak perlu grogi jika berdakwah lewat perkataan tak bisa karena dengan menulis pun kita bisa. D Zawawi Imron, siapa yang tak mengenal sosok lelaki bersahaja. Dia tak pernah mengenyam yang namanya bangku kuliah, tapi ia bisa menjadi seseorang yang di akui keberadaannya. Ia bukan lulusan luar negeri, tapi kemampuannya sebanding dengan lulusan luar negeri. Jika D. Zawawi Imron yang bukan lulusan sekolah tinggi saja bisa, kenapa kita harus minder. Kesuksesan kita bukan pada hasilnya tapi proses kita menghalau semua mimpi buruk. Rasa takut, jelek, sok tahu, sok pedelah, harus kita binasakan.

Tulisan adalah sumber ilmu. Kita tidak akan pernah tahu tulisan al-Qur’an seandainya para sahabat tak punya inisiatif untuk menulis dan menghimpunnya. Jika kita bisa menulis sebuah buku, baik itu fiksi atau non fiksi berarti kita telah mencoba mentransfer ilmu yang kita miliki. Jadi, kita tak perlu takut berdosa, karena mengamalkan tak hanya dengan mengajar lewat kata-kata tapi juga tulisan.

Awalnya saya memang tak percaya bahwa dengan menulis kita bisa cerdas tapi anda bisa buktikan sendiri. Saya memang selalu berkeinginan menulis, apalagi awal saya tiba di IAIN saya ikut diklat kepenulisan yang dikordinatori oleh Kombas (Komunitas Baca Surabaya). Sepertinya menulis memang sangat menyenangkan. Saya pun berkeinginan untuk mempraktekkannya sekeluarnya dari diklat ini. Tapi tetap saja itu hanya sekedar basa basi. Hingga berbilang jam, hari, bulan dan tahun, diklat kepenulisan tak juga bisa membuatku terlahir menjadi penulis.

Kepenulisan saya berawal ketika suami saya tak pernah berhenti untuk terus mendorong dan memotivasi saya untuk menulis. Saya hampir stres menghadapinya, karena walaupun keinginan itu datang saya selalu terjebak setiap kali berhadapan dengan komputer. Berjuta janji tak juga membuat saya menggerakkan tangan. Namun perjalanan waktu tak juga mengubah pendirian suami Saya untuk terus mendesak, bahkan memaksa. Saya kehabisan akal bagaimana caranya agar dia tak lagi memaksa Saya untuk menulis. Sayapun tak kalah mencari alternatif lain. Apa salahnya saya mencoba menulis? Selain bisa menghentikan paksaannya, setidaknya saya akan mendapatkan iming-iming janji. Apalagi, IAIN mayoritas memang calon politikus, apa salahnya jika saya mencoba sesuatu yang minoritas. Yah setidaknya menghibur diri karena saya tak terlibat dengan organisasi apapun di kampus, selain kuliah, makan, tidur. Sayapun kembali rajin mengoleksi buku kumpulan cerpen, novel, dan untuk dananya saya tak perlu khawatir karena suamiku memang tak membiarkanku kekurangan buku sastra. Dibandingkan dengan buku materi kuliah, koleksi buku sastra lebih mendominasi.

Saya mulai mengasah dan melatih kemampuan sekaligus mencari apa yang harus saya tulis. Saya tak berfikir bagaimana nasib tulisan itu nantinya, yang jelas setelah tulisan saya rampung dia tak akan memaksa saya lagi, dan aku bisa secepatnya mendapatkan janji-janjinya. Tapi, saya tak bisa memaksa saat kami terjerat dengan kebutuhan perut dan biaya negeprint tugas.

Saya tak menyangka puisi yang saya tulis beberapa waktu lalu di muat di koran Radar Madura. Yah, Walaupun mungkin saja tulisan itu tak bagus-bagus amat, atau barangkali karena suamiku mengenal redakturnya, jadi tulisan itu terpaksa dimuat, tetap saja tak mengurangi rasa bahagiaku. Emosiku merasa tertantang untuk kembali mencoba dan mencoba. Suatu saat hal yang bisa saya akan buktikan pada orang tuaku bahwa selain saya nakal, bandel, keras kepala, dan menyebalkan saya juga bisa membuat mereka tidak menyesal melahirkanku. Entah, karena apa saya merasa tak terlalu antusias saat cerpen pertama “Rentetan Kelabu” di muat di salah satu koran Harian Duta Masyarakat. Mungkin juga karena janji yang tak jua saya dapatkan, atau memang karena perasaan saya yang waktu itu lagi tak menentu.

Saya memang tak terlibat langsung dengan kirim mengirim kemana. Namun ada yang salah dari persepsiku. Dan harus saya luruskan bahwa menulis itu bukan hanya salah satu cara untuk mendapatkan iming-iming atau apapun. Saya menulis sebenarnya memang karena saya senang membaca dan ingin bisa seperti mbak Pipit Senja, yang menghabiskan seperempat abad lebih untuk membuat yang membaca selalu menangis. Penyakit yang disandangnya tak menyurutkan langkah untuk terus berusaha untuk menjadi manusia yang bermamfaat kepada manusia lainnya.

Jadi benar adanya saat KH. Zainal Arifin Thoha yang panggilan akrabnya Gus Zainal mengatakan bahwa, ‘Aku Menulis Maka Aku Ada’. Kita tak akan pernah bisa mengenal sosok almarhum Gus Zainal jika beliau tak melahirkan karyanya. Bahkan yang paling asyik, motivasi Gus Zainal yang juga sebagai seorang penulis ketika tulisan-tulisan santrinya sudah pernah dimuat di media massa, dia enggan untuk mengorek karya-karya mereka, dalihnya “karena tulisanmu sudah dimuat, berarti anda telah diakui sebagai penulis”.

Dan sayapun mulai merasakan sedikit kemajuan yang bisa saya dapatkan saat menyaksikan tulisan yang dimuat di koran serupa. Dan cerpen ketiga dimuat di buletin Obhur, Buletin IKMAS (Ikatan Mahasiswa Sumenep) yang berdomisili di Surabaya.
Saya pasti bisa mengejar ketinggalanku untuk berbuat sesuatu yang keberadaannya tak hanya di anggap angin lalu. Jika mereka bisa kenapa saya harus tak bisa! Bukankah Tuhan menciptakan manusia tidak sia-sia, dan disinilah aku akan berhenti menyesali bahwa Tuhan menciptakanku percuma.

Meski tulisan saya sangat jauh dari kategori sempurna, setidaknya saya harus kembali berproses untuk menjadi lebih baik. Kini aku telah menulis 6 cerpen, ketiganya masih dalam proses entah terbuang ataukah nasib mujur yang meraihnya.
Kita akan lebih bisa berdamai dengan diri kita saat tak temukan keistimaewaan yang ada pada diri kita. Menulis tak hanya akan membuahkan kekayaan materi dan ketenaran, tapi juga kekayaan bathin. Dimana anda akan selalu temukan ide itu melintas saat hati anda berdialog dengan alam, orang-orang yang kurang beruntung, dan orang-orang teraniaya. Dengan menulis anda tak akan selalu merasa kesunyian milik anda.

Dunia kepenulisan di tanah kelahiran kita sudah mulai merangkak mendekati titik 20%. Kenapa tidak 100%? Karena yang menulis dan yang membaca masih tergolong jauh dari seimbang. Jangankan menulis, membaca saja adalah sesuatu yang sangat sulit istiqomah kalau tidak dalam keadaan darurat. Apalagi IAIN, sangat jarang sekali saya mendapati orang yang lagi berkumpul, santai, selain untuk nongkrong bareng, ngobrol ngolor ngidul. Masih untung kalau di selingi diskusi, takutnya malah diisi dengan ghibah. Bukannya nambah pahala, malah mengencangkan tawa syaitan yang meringkuk di pelupuk mata kita.

Dari cerita awal tentunya semua tahu bahwa kecenderungan saya terletak pada tulisan sastra khususnya cerpen. Karena disetiap kata-kata dan alur ceritanya selalu membuat saya tertantang untuk terus dan terus menikmatinya. Bahasanya mudah dipahami, alurnya selalu bisa membuat saya terbawa, seakan-akan saya adalah salah satu tokoh di dalamnya. Dan untuk target pertama membaca selalu novel, entah itu detektif, roman, dan lain sebagainya.

Meski saya penikmat novel, tapi tak satupun kerangka yang saya buat untuk menulis novel. Karena otakku yang masih belum terbiasa untuk menulis sesuatu yang panjang dan berliku. Masih banyak lagi yang harus saya pelajari untuk menjadikan pembaca merasa tertantang menjadikan tulisanku layak untuk dinikmati.

Sastra yang saya ketahui tak harus mengandung kata-kata yang kadang kala malah sulit dimengerti. Kecuali yang memang puisi, seringkali penulisnya sangat hati-hati mengolah setiap bahasanya menjadi sesuatu yang memang pantas diacungi jempol. Cerpen yang saya tulis sangat jauh dari kata-kata ‘melangit’, disetiap kali menulis saya selalu membuang jauh teori dan bahasa yang saya sendiri sulit untuk memahami. Saya hanya menulis, membiarkan alur menari dan membentuknya menjadi sebuah cerita. Sastra akan selalu membuat anda untuk berpetualang, menikmati keindahan, kebengisan yang terkandung di dalamnya.

Dulu saya selalu tertarik untuk menulis opini, artikel, atau semacamnya yang menurut saya selalu berbau ilmiah. Tapi, ujung-ujungnya selalu membuat saya ingin menulis cerita. Tapi dasar walaupun keinginan untuk menaklukkannya bukan atas ketertarikan hanya sebatas obsesi, sampai sekarangpun saya tak bisa menciptanya. Seringkali kata-katanya membuat saya sulit mencerna dan memahami tulisan tersebut disebabkan isinya terdapat banyak unsur ilmiah yang akhirnya memaksa saya untuk membuka kamus ilmiah populer. Meski mau tak mau saya harus melakukannya karena tulisan dan buku-buku kuliah selalu terdapat kata-kata sulitnya.

Saya menulis kolom ini bukan mengalir begitu saja, melainkan merangkak selain kesalah pahaman tentang kolom adalah sebuah opini yang hanya menanggapi realitas dengan kata-kata ilmiah. Membuat saya terkunci, hingga akhirnya saya ketahui bahwa tulisan kolom semacam tulisan yang intinya cerita sederhana yang bukan sebatas karangan melainkan pengalaman. Bukan tanpa kesulitan saya merangkainya, apalagi harus 12 lembar. Pikiran saya berkecamuk, apa yang harus saya tulis hingga bisa mencapai 12 lembar. Tapi, walau dengan memakan waktu berhari-hari saya tulis saja apa yang saya ketahui, tangkap, jalani dalam tulisan yang barangkali tak layak baca.

Tulisan itu adalah pembebasan, atas diri kita yang lemah, kemampuan yang jauh dari sempurna, dan kesulitan kita berdamai dengan takdir. Dan seharusnyalah saya katakan bahwa setiap tulisan harusnya bisa menjadikan kita terhindar dari belenggu. Entah itu rasa takut, marah, dendam, dan iri yang seringkali selalu memaksa kita untuk terus terikat.

Dengan menulis kita membebaskan diri kita sendiri untuk mengekspresikan setiap perasaan, tindakan, perkataan pada setiap uraian kata yang sulit terlontarkan.
Banyak sekali mamfaat yang saya dapatkan dari menulis. Menulis mampu membebaskan saya dari banyak hal, yaitu: pertama, ia membebaskan kita untuk berekspresi, salah satu cara mengontrol diri terhadap sesuatu yang melebihi batas kewajaran. Seperti ekspresi marah, benci, muak, sakit hati, bahagia, dan lain sebagainya. Tulisan itu akan mewakili setiap emosi kita. Kedua, menulis akan membebaskan kita untuk mencapai mimpi, harapan yang tak bisa kita wujudkan dalam kehidupan realita kita.

Kita bisa merasakan betapa istimewanya menjadi Tuhan. Yang menciptakan, mengatur, bercengkarama dengan diri kita sendiri. Di tangan kitalah nasib sang tokoh akan hidup, mati, atau mayat hidup. Ketiga, menulis akan membebaskan kita dari perasaan minder saat kita berada di antara orang-orang besar yang terdapat banyak kelebihan. Sedikitnya mengurangi kita untuk terus mendekam dalam dunia kita sendiri. Karena perasaan minder selalu kita rasakan ketika kekurangan lebih mendominasi dari pada kelebihan yang terdapat dalam diri kita. Keempat, pernahkan terpikir oleh kita, bahwa dengan menulis bisa membuat kita cerdas. Dan kecerdasan ini tak bisa kita nilai hanya dari akademis tapi juga dari setiap perilaku, kemampuan untuk senantiasa mencerna dari tiap hal yang terjadi disekeliling kita. Mengasah kemampuan untuk menambah wawasan. Kelima, ketika setiap hal bisa kita ungkapkan dengan menulis dan menjadi tulisan utuh yang bisa dihargai oleh diri kita dan orang lain, tak bisa dihindari kepuasan akan kemampuan diri kita bisa menjadi motivasi untuk bangkit dari lelap. Kita akan sadar, betapa bangganya kita pada diri sendiri. Keenam, saya bisa membayar hutang.

Di dalam menulis ada bebarapa hal yang harus kita ketahui. Pertama, jangan pernah menulis untuk mengejar target. Jika hal itu kita lakukan kita sendiri yang terbelenggu oleh tulisan. Tentu saja hal itu akan mengurangi kebebasan berekspresi. Kedua, jangan hanya jadi penulis lapar jika kita menginginkan kepuasan batin yang sesungguhnya, kecuali hanya sebatas mengenyangkan perut. Meski kebanyakan awal kepenulisan seringkali bermula dari kelaparan.

Semua yang saya tulis adalah pengalaman pribadi yang masih butuh beribu-ribu kali proses. Dan kebenarannya kita serahkan semua kepada Allah. Wallahu a’lam.
read more “MENULIS ITU TERAPI PEMBEBASAN”

Read more...

Anakku

Cerpen: Noviana Herliyanti
Bergiat Di Pondok Budaya Ikon Surabaya

Aku wanita paling beruntung di dunia bisa menikah dengan Mas Iqbal. Ia lelaki yang sangat sempurna di mataku. Kekayaan tak lantas membuatnya congkak pada kenyataan. Keluarganya juga tak pernah mempermasalahkannya tentang statusku.

Mas Iqbal merupakan laki-laki tunggal dikeluarga besarnya, ia anak kesayangan yang menjadi satu-satunya harapan dari keluarga besarnya untuk meneruskan usaha logam yang sukses. Banyak yang iri atas kemujuranku, protes sana protes sinipun tak pernah berhenti mengalun disetiap langkahku. Tapi aku dan Mas Iqbal tak ambil pusing.
Mas Iqbal anak ke 4 dari 5 bersaudara. 3 saudara perempuan Mas Iqbal ikut suaminya. Hanya Mbak Irin yang tinggal bersama keluarga karena kebetulan suaminya bertugas di kota ini. Mertuaku sangat bahagia, karena semua ananknya dikaruniai putera. Dan kebahagiaan itu sempurna apabila ia mendapatkan keturunan dari Mas Iqbal. Harapan mereka juga harapanku pastinya.

Sebagai Nyonya Iqbal, aku menjadi ratu di rumah ini. Semua keluarga menghargaiku. Untuk mengisi waktu kusempatkan merawat bunga yang sengaja di tanam di halaman rumah. Disetiap hari libur, selalu kami isi dengan liburan. Keluarga yang sempurna. Dan kebahagiaan ini tak justru melupakanku pada keluargaku di kampung. Apalagi mertuaku tak mengizinkanku untuk membantu uang belanja. Uang pemberian selalu aku tabung dan sebagian aku kirimkan ke kampung. Meski tak banyak yang aku berikan semoga bisa membantu sedikit kebutuhan keluarga dan biaya sekolah Ning dan Andi, sepupuku.

Kebahagiaan itu sempurnalah sudah setelah kepulanganku dari Dokter Harun yang memvonisku hamil. Mas Iqbal sangat bahagia apalagi keluarga besarnya. Aldi dan Nanda putra Mbak Irin bersorak kegirangan karena ia tahu bahwa dirahimku ada calon temannya yang akan membantu meramaikan suasana. Aku hanya bisa memanjatkan do’a. semoga kebahagiaan dan senyum mereka akan selalu abadi. Amin.

Mama dan Mbak Irin silih berganti menjengukku dikamar, karena kondisiku yang lemah tak memungkinkan untuk sering berkumpul. Kedua keponakanku sering membawakan aku makan siang dengan segudang cerita. Ah, senangnya.

Tak lama kemudian Paman, Bibi, Ning dan Andi mengunjungiku, dengan membawa oleh-oleh hasil kebun di kampung. Keluarga Mas Iqbal menerima dengan tangan terbuka. Kondisi Nenek di kampung tak memungkinkan mereka berlama-lama. Aku hanya bisa minta maaf untuk sementara tak bisa pulang.

“Ndak apa-apa Sum, kamu jaga baik-baik kandunganmu. Biar nanti kalau ada apa-apa tak kasih kabar lagi.” Aku menyelipkan amplop ditangan Bibi.

“Ini hanya sedikit dari Sum, sedikit membantu pengobatan Nenek.” Aku memeluk Bibi erat mohon do’anya selalu. Ia adalah ibu kedua yang selalu membagi kasih sayangnya untukku. Meski berat aku melepaskan mereka pulang.

Hingga kehamilanku yang 3 bulan aku baru punya kesempatan mengunjungi keluargaku di kampung. Karena kondisi Nenek yang bertambah parah terpaksa memaksa Mas Iqbal untuk menginap. 3 hari kemudian ia pulang. Namun aku tak bisa pulang menemaninya. Tak tega rasanya meninggalkan kondisi Nenek yang semakin melemah.
“Tapi kamu harus pulang, Sum?”
“Aku akan pulang tapi nggak sekarang. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Nenekku yang lagi sakit?”.
“Kalau kamu tetap disini bagaimana dengan kondisimu? Siapa yang perhatiin kamu? Disini kan masih ada Bibi dan Paman? Biar aku yang akan nanggung semua biayanya”.
“Astaghfirullah Mas! Yang sakit itu Nenekku! Orang tua yang merawatku sedari kecil! Dan saat ia sekarat aku lantas membiarkannya dengan embel-embel biaya ditanggung. Keterlaluan kamu Mas!”.

“Kalau kamu memaksaku pulang sekarang, aku nggak bisa”. Segera kulangkahkan kaki ke kamar Nenek. Tubuh ringkih itu tergolek lemah. Aku menangis tertahan.
Semua telah terjadi. Aku tak bisa berontak melawan takdir. Akhirnya mungkin saatnya Nenek harus meninggalkanku. Tapi aku bahagia bisa menemaninya di saat-saat terakhirnya. Meski harus kutebus dengan pertengkaran sengit antara aku dan suamiku.
Perutku semakin membesar seiring dengan pergantian bulan. Menurut perkiraan dokter aku akan melahirkan dalam minggu ini. Aku selalu menyempatkan diriku jalan-jalan pagi hari untuk mempermudah proses persalinan.

Pagi ini perutku terasa mulas. Kurasakan penat disekujur tubuhku, perih tak terperi. Tak kupedulikan dokter yang terus memaksaku untuk bertahan. Pandanganku gelap, tiba-tiba seluruh panca indera kurasakan gulita.

Dua hari aku pingsan. Kulihat raut kecemasan terpancar dari wajah Mas Iqbal. Tapi senyum masih melekat di bibirnya.

“Dimana anak kita Mas? Apa dia baik-baik saja?”.
“Dia tak apa-apa hanya butuh perawatan intensif. Kamu harus banyak istirahat. Kondisimu masih lemah”. Dia menyelimutiku. Inginnya aku bertanya tapi bius dokter telah menguasai sarafku.

Rumah bertambah semarak dengan kehadiran bayi mungilku, Iksan. Anakku tak banyak tingkah, bahkan cenderung pendiam untuk anak seusianya. Dia tak terlalu banyak respon atas sekitarnya. Di saat usianya yang menjelang setahun, sulit kuterima kondisinya yang masih belum bisa duduk tegak. Dan betapa hancur hatiku menerima kenyataan ini saat dokter mengatakan bahwa dia menderita penyakit Paralisis total (lumpuh total). Dunia kurasakan runtuh saat itu juga. Kasian anakku.

Aku segera menghapus air mata, saat tangan anakku memecahkan gelas yang ingin diraihnya. Aku merengkuhnya erat, dia memang tak seperti anak-anak lainnya. Tidak lincah, bahkan berdiripun tak bisa ia topang dengan kedua kakinya. Ia akan selalu membutuhkanku.

“Aku tak akan membiarkan anak sial itu tinggal di rumah ini”. Suara Mas Iqbal menggema diseluruh ruangan.
“Tapi dia anak kita, Mas?”
“Dia pasti bukan anakku, kamu pasti telah berselingkuh. Yah saat aku tidak menemanimu waktu Nenek sakit, pasti kau memamfaatkan kesempatan itu”.
“Astaghfirullah Mas, kejam sekali kamu menuduhku demikian!”.
“Satu-satunya jalan adalah menyingkirkan dia dari rumah ini”. Tambah Mas Iqbal sengit.
“Tidak, aku tak akan pernah membiarkannya pergi. Aku yang akan merawatnya, karena dia anakku, darah dagingku”. Aku mengambil Iksan dari tangan Baby Sitter.
“Dia harus tetap pergi, Nak. Demi keutuhan keluarga ini!”. Bujuk Mama.
“Apa? Sebegitu tegakah Mama mengatakan itu padaku. Sedang Mama sendiri adalah seorang Ibu. Aku yakin Mama akan melakukan apa yang aku lakukan seandainya Iksan anak Mama. Aku akan merawatnya. Dan aku tidak peduli lagi pada kebahagiaan keluarga ini, jika semua harus aku tebus dengan keegoisan kalian menyingkirkan Iksan”.
“Jika kamu bersikeras untuk mempertahankannya, maka tinggalkanlah rumah ini”. Putus Mas Iqbal.

“Tak jadi masalah, karena aku juga tak sudi tinggal di rumah anda”.
“Dan sekali kamu keluar dari rumah ini, tak akan ada kesempatan untuk kembali”.
“Iqbal, kamu nggak boleh berkata seperti itu pada istrimu”. Bela Papa
“Nggak papa, Pa. Dia berhak melakukan itu semua”. Isakku lirih. Sejak pertengkaran itu kuputuskan untuk pulang ke kampung.

Sebulan kemudian, Mas Iqbal datang menawarkan perdamaian. Dia akan menceraikanku jika aku tak juga meninggalkan Iksan. Tapi itu semua tak sedikitpun mengusik pertahananku. Bahkan tak kuhiraukan saat ia mengatakan akan menikah lagi.
Kudekap erat Iksan, kucium ubun-ubunnya, mendoakannya semoga suatu saat dia bisa membuktikan pada dunia bahwa perjuanganku mempertahankannya tidak sia-sia. Dia anakku, darah dagingku. Tak ada yang bisa menukarnya dengan apapun. Dia kebanggaanku.
read more “Anakku”

Read more...

Welcome To My Blog

Selamat Datang ....
read more “Welcome To My Blog”

Read more...

Random Wise Word

Followers

    © Noviana Herliyanti. Friends Forever Template by Emporium Digital 2009

Back to TOP